Tuesday, May 19, 2009

Karya-karya Thaha Abdurrahman

Al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri

Buku ini adalah respon langsung Dr. Thaha Abdurrahman terhadap unilateralisme Amerika. Unilateralisme ini ditandai dengan berkembangnya wacana benturan peradaban (Clash of Civilization), perang Afganistan dan Irak dengan dalih memerangi terorisme dan proyek Amerika untuk menata ulang peta timur tengah dan dunia Islam secara umum melalui pintu demokratisasi dan reformasi pendidikan.

Setelah keruntuhan Uni Soviet, Amerika menjadi satu-satunya negara super power di dunia. Kekuatannya ini membuatnya merasa sah untuk memaksakan nilai dan pemikirannya agar diadopsi oleh dunia. Ia merasa nilainya adalah nilai universal yang berlaku kapan dan dimana saja. Dr. Thaha menyebut ini sebagai kekerasan pemikiran (al-unf al-fikri) dan membuktikannya dengan bukunya ini sebagai kekeliruan. Sengaja Dr. Thaha memberinya judul: al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri untuk menegaskan bahwa Islam sebagai nilai dan perilaku memiliki paket jawaban yang khas terhadap persoalan zaman ini.

Untuk menjelaskan jawaban ini, Dr. Thaha membutuhkan satu pengantar umum, tiga bab dan penutup. Kekhasan jawaban Islam berdiri di atas dua prinsip: prinsip perbedaan ayat yang melahirkan perbedaan ayat-ayat alam dan prinsip perbedaan manusia yang melahirkan umat-umat yang berbeda. Pada prinsip pertama, sepanjang buku, Dr. Thaha menjelaskan tentang bagaimana cara umat Islam berpikir dan pada prinsip kedua, bagaimana cara umat Islam berperilaku. Menurutnya, berpikir terbagi dua: berpikir tentang dunia yang bisa diindera yang disebutnya an-nadzr al-mulki dan berpikir tentang segala sesuatu dari aspek makna yang disebutnya an-nadzr al-malakuti. Sedangkan, perilaku juga terbagi dua: interaksi antar masyarakat baik dalam hal kebaikan atau keburukan yang disebutnya al-amal at-ta’awuni dan interaksi antar umat hanya dalam hal kebaikan yang disebutnya al-amal at-ta’arufi. Pada dasarnya, umat Islam menggunakan an-nadzr al-malakuti yang menjadi pijakan bagi an-nadzr al-mulki dalam berpikir dan al-amal at-ta’arufi yang menjadi pijakan bagi al-amal at-ta’awuni dalam bertindak atau berperilaku. Yang pertama, melahirkan iman dan yang kedua melahirkan akhlak yang terpuji.

Menurut Dr. Thaha jawaban Islam ini sejalan dengan prinsip-prinsip universalitas. Karena berpikir dengan cara malakuti menuntut seorang muslim untuk memikirkan sebanyak mungkin ayat. Sementara bertindak dengan cara ta’arufi menuntutnya untuk berinteraksi dalam kebaikan dengan sebanyak mungkin umat. Kekhasan jawaban Islam ini, menurutnya, hanya bertentangan dengan kondisi dunia saat ini (al-waqi’ al-kauni) yang didominasi oleh cara berfikir al-mulki dan cara bertindak at-ta’awuni yang dipakai oleh Amerika (pada fase sebelumnya, sejak kelahiran modernitas, oleh Eropa). Cara berpikir dan cara bertindak ini semata tidak butuh iman dan juga akhlak. Oleh karena itu pada bab pertama, Dr. Thaha mengkritik kondisi ini dari prespektif keimanan (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-imani) dan pada bab kedua, beliau mengkritiknya dari prespektif akhlak (bab ini diberinya judul: al-waqi’ al-kauni wa an-naqd al-akhlaqi). Bukan hanya kritik, tetapi Dr. Thaha berijtihad untuk memberikan alternatif Islam bagi tema yang dikritiknya.

Pada bab pertama, boleh dikata, Dr. Thaha membongkar isi kepala dan perilaku pongah Amerika yang paling mewakili kondisi dunia kontemporer. Ada tiga fokus perhatian disini: Pertama, menegaskan bahwa benturan nilai itu sebenarnya adalah penyakit internal yang dialami nilai-nilai Amerika yang dijangkitkannya ke luar untuk juga mencakup nilai-nilai dari umat lain. Kedua, menegaskan bahwa ada usaha sistematis dan berkelanjutan untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, pada fase kolonialisme fisik oleh Eropa dan kini oleh Amerika. Usaha itu, adalah istilah Dr. Thaha disebut: al-istitba’, at-takhrib, at-tanmith dan at-talbis. Semuanya dalam konteks nilai-nilai. Ketiga, usaha Amerika (intelektual dan pemerintahnya) untuk mengunggulkan nilai-nilai Amerika di hadapan nilai-nilai umat lain. Meskipun Dr. Thaha membuktikan, dengan analisisnya terhadap pernyataan 60-an intelektual Amerika yang menjustifikasi perang terorisme, kesalahan argumentasi mereka dalam membangun kesimpulan-kesimpulan mereka. Semua ini adalah refleksi dari eliminasi cara berfikir malakuti dalam ‘kamus’ pemikiran mereka.

Pada bab kedua, Dr. Thaha berbicara tentang penyakit akhlak yang dialami oleh kondisi riil dunia saat ini. Ada tiga tangga yang bersambung disini. Pertama, pada kondisi ketika perbedaan pemikiran masih bisa hidup, ada penyakit yang muncul yaitu wiqahat al-isti’la’, yaitu ketidakmauan untuk mengambil pelajaran dari nilai-nilai umat lain, meskipun hak mereka untuk berbeda tetap dihormati. Kedua, kondisi dualitas, seperti yang kini dipakai oleh Amerika, yang membagi umat dunia pada kami (kawan) dan mereka (lawan). Kondisi ini melahirkan penyakit wiqahat al-inkar, yaitu tidak mengakui hak umat lain untuk berbeda dengan nilai-nilai khasnya. Ketiga, kondisi monolitas yang terwakili oleh globalisasi. Globalisasi meniadakan, bahkan, hak hidup nilai yang berbeda (wiqahat al-ijtitsats). Nilai yang berhak hidup adalah nilai yang didiktekan oleh globalisasi. Nilai Islam yang ditawarkan oleh Dr. Thaha untuk keluar dari penyakit ini ialah prinsip malu (mabda’ al-haya’) pada tangga pertama, prinsip perjuangan akhlak (al-jihad al-akhlaki) pada tangga kedua dan prinsip kearifan (mabda’ al-hikmah) pada tangga ketiga.

Pada bab ketiga, Dr. Thaha menunjukan kapasitas kepemikirannya. Bab ini merupakan penjelasan lebih jauh dari dua jawaban Islam di muka: Iman yang dihasilkan oleh an-nadzr al-malakuti dan akhlak yang dibuahkan oleh al-amal at-ta’arufi. Bab ini diberinya judul: Taf’il al-Iman wa Ta’shil al-Akhlaq. Menurutnya, iman yang semata dihasilkan oleh pemikiran malakuti tidak cukup karena ia bisa menjadi sangat biasa sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh pemikiran mulki. Iman harus diefektifkan dengan melaksanakan atau mempraktekkan ritual agama. Oleh karena itu, menurut beliau, pengefektifan atau penguatan ini harus dilakukan dengan dua macam jihad yang oleh beliau dinamakan al-jihad al-i’tiadi dan al-jihad al-irtiqa’i. Al-Jihad al-i’tiadi menurutnya adalah usaha biasa untuk menghindarkan manusia terjerembab ke kondisi tidak beda dengan hewan. Untuk menguatkan iman, seseorang butuh jihad yang lebih tinggi, yaitu al-jihad al-irtiqa’i: jihad yang timbul dari ruh dan mengaplikasikan nilai-nilai yang luhur dan perbuatan sehari-hari. Jihad ini membuahkan pendekatan diri kepada Allah dan kondisi seseorang yang eksistensi selalu bersambung dengan sang pencipta. Iman seperti ini disebut Dr. Thaha dengan al-iman al-malakuti al-hayy. Sedangkan berkaitan dengan penguatan akhlak, Dr. Thaha mengajukan jihad yang lebih tinggi lagi yaitu al-jihad al-iktimali: yaitu jihad yang melahirkan kesucian pada segala perbuatan pelakunya karena ia bersambung, pertama, dengan perbuatan-perbuatan Allah (af’al) dan, terakhir, dengan zat Allah. Disinilah, menurut Dr. Thaha, puncak universalitas (kauniyah) Islam itu, karena ia tidak hanya mencakup dunia kini tapi dunia kapan saja, tidak hanya alam manusia tapi alam apa dan siapa saja.

Dua kelebihan utama Dr. Thaha, pada karya ini dan juga karya-karyanya sebelunya: Pertama, kekuatan logika (manthiq), melahirkan istilah-istilah dan membuahkan konsep-konsep. Kedua, kekuatan bahasa. Bahasa Arab-nya mengingatkan kita dengan karya-karya ulama pada masa keemasan Islam, bukan bahasa arab yang sudah sedemikian kental unsur masukan (dakhil)-nya. Kemampuan bahasa ini jugalah yang memberinya keluasan referensi dengan bacaan karya-karya dalam bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan lain-lain. Keunggulan metodologis dan penyajian buku juga terlihat pada jarangnya –atau bahkan hampir tidak ada—kutipan-kutipan langsung yang kadang mengganggu kenikmatan membaca. Karya Dr. Thaha, saya kira, lahir setelah bacaan-bacaannya dikawinkan dengan perenungangannya dalam sublimasi kreatif yang ujung-ujung melahirkan karya bagus.

Catatan kritik, barangkali, ialah jarak yang masih terlalu jauh antara pemikiran-pemikiran Dr. Thaha dengan kenyataan, meskipun sudut pandangnya adalah “apa yang seharusnya ada” bukan “apa yang senyatanya ada”. Siapakah misalnya yang hendak mendirikan universitas dunia dan media berskala besar untuk mempersiapkan kader dan menyebarkan jawaban Islam terhadap persoalan zaman, sebagaimana yang beliau usulkan?. Meskipun beliau berbicara tentang Islam yang indah di konsep, tetapi bagaimana gerangan melampaui keadaan umat Islam, yang beliau akui sendiri, yang lemah dan dilemahkan, baik dari sisi politik, ekonomi, apalagi media. Bagaimana mungkin menyebarkan nilai dan konsep Islam tanpa atmosfer yang mendukung ke arah itu?. Catatan lain, tentu masih bisa kita kembangkan. Yang jelas, bagi anak muda yang suka berpikir dan bergerak, buku ini layak menjadi bacaan wajib.

Judul Buku : Al-Haq al-Islami fi al-Ikhtilaf al-Fikri
Penulis : Dr. Thaha Abdurrahman
Penerbit : Al-Markaz ats-Tsaqafi al-Islami , Casablanca
Tahun Terbit : 2005, Cetakan I
Jumlah Halaman : 320ll

Saturday, May 16, 2009

Karya-karya al-Jabiri

Madkhal Ila al-Qur'an al-Karim
al-Juz al-Awwal
Fi at-Ta'rif bi al-Qur'an

Masihkah al-Qur'an perlu diperkenalkan, didefinisikan? Satu pertanyaan yang al-Jabiri sendiri lempar di awal buku ini. Namun al-Jabiri menjelaskan proyek intelektualnya ini sebagai upaya membaca al-Qur'an secara historis. Merunut al-Qur'an sesuai urutan waktu turunnya.

Tapi ini bukan tafsir yang menempatkan ayat (sesuai urutan turun) lalu dijelaskan. Namun ini adalah upaya menuntun nalar untuk membaca al-Qur'an --sebagaimana di juz I dari proyek ini-- dimulai dari membaca lingkungan al-Qur'an (waktu dan tempat) ketika turun (bagian I); bagaimana al-Qur'an terbentuk (bagaian II); dan bagaimana membaca kisah-kisah dalam al-Qur'an (bagian III).

Tentang lingkungan al-Qur'an, al-Jabiri banyak berbicara tentang agama-agama yang hidup di jazirah Arab dan sekitarnya sebelum dan pada masa al-Qur'an diturunkan. Yahudi dan Nasrani. Al-Jabiri hendak membuktikan kesatuan asal agama-agama samawi, hubungan Nabi Muhammad dengan para penguasa ketika itu, peristiwa turunnya wahyu dan hakikat kenabian. Bagi alam kesadaran baik ahli kitab maupun penduduk kabilah-kabilah arab, kenabian bukan sesuatu yang asing.

Yang menonjol dari pembahasan Bagian I ini adalah penegasan al-Jabiri bahwa makna "ummi" yang disematkan kepada Nabi bukanlah "tidak bisa membaca dan menulis", namun menunjuk makna mereka yang bukan ahli kitab. Sebab ketika didatangi Jibril pertama kali dan disuruh membaca, nabi balik bertanya: "ma aqra'?", apa yang mesti saya baca?. (hal 71-72). Riwayat, konteks dan nalar mendukung makna ini.

Tentang bagaimana al-Qur'an berproses menjadi (masaar al kaun wa at-takwiin), al-Jabiri membaginya menjadi tiga momentum: momentum tartil dan i'jaz, momentum al-Qur'an sebagai peringatan dan kisah-kisah (keduanya dibahasnya di juz I ini) dan momentum al-Qur'an sebagai kitab: akidah-syariah-akhlaq (akan dibahas nanti di juz II).

Saya menjadi tahu rahasia yang paling kuat dari keabadian al-Qur'an --sebagaimana ditegaskan al-Jabiri di bagian II dari pembasan buku ini-- bahwa al-Qur'an adalah mukjizat nabi yang intrinsik bukan berasal dari luar jenis dakwahnya (ekstrinsik) sebagaimana mukjizat para nabi-nabi terdahulu. Kalau seorang dokter mengaku dokter dengan bukti dia bisa membuat mobil misalnya, maka bukti ini berasal dari luar, namun kalau buktinya adalah dia memang bisa mengobati, maka bukti ini lebih rasional dan berasal dari dalam. Dalam alur nalar macam inilah, al-Qur'an hadir sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW, nabi dan rasul pamungkas. Al-Jabiri membuktikan bahwa al-Qur'an lah satu-satunya mukjizat Nabi SAW (hal 161-169).

Tentang al-Qur'an sebagai peringatan dan kisah-kisah, intinya adalah bahwa yang dituju oleh kisah-kisah dalam al-Qur'an bukan terutama pada fakta yang dimuatnya tetapi pada pesan abadi dari pelajaran-pelajaran yang ditinggalkannya. Pelajaran (peringatan) yang melampaui ruang dan waktu; tetap bisa menjadi rujukan moral, sejarah dan pembangunan bagi siapapun sampai ujung waktu.

Di ujung buku ini, al-Jabiri menyebut kekhasan hubungan Nabi dengan al-Qur'an, yaitu apa yang disebutnya dengan "al-alaqah al-hamimiyah"; satu hubungan sangat intim yang bukan hanya diperlihara secara harian, tetapi bahkan setiap saat. Hubungan mereka sangat akrab, hangat dan intim. Al-Jabiri juga menegaskan bahwa Islam lah satu-satuya yang bersih dari misteri (asraar/mystere), agama yang bisa diakses oleh siapapun secara rasional, tidak dengan perantara para elit agama, sebagaimana pada agama-agama lain. (hal 396-401).

Sebaiknya anda membaca langsung buku ini agar bisa menikmati sensasinya...

Data Buku:
Judul: Madkhal ila al-Qur'an al-Karim, fi at-Ta'rif bi al-Qur'an
Juz: I
Penulis: Mohamed Abed al-Jabiri
Penerbit: Dar an-Nasyr al-Magribiyah (edisi Maroko)
Cet: I, Sept 2006

Wednesday, May 13, 2009

Al-Jabiri dan Konsistensi Metodologis

Mengagumkan. Saya kagum dengan konsistensi metodologis Aljabiri. Anda bisa merunutnya dari karya-karynya: Nahnu wa at-Turats, tetralogi kritik nalar arab sampai karya terbarunya tentang al-Qur'an yang sejauh ini sudah tiga jilid yang dilempar ke publik. Sebuah nafas panjang konsistensi metodologis: membuat obyek kajian hidup di masanya sendiri, dan hidup bersama kita yang hidup di masa kini.

Itulah yang dilakukannya sejak Nahnu wa at-Turats. Hidup bersama al-Farabi, Ibnu Sina; Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun di masa mereka dengan problematika kesejarahannya masing-masing, namun menangkap ruhnya yang masih bisa hidup bersama kita untuk menjawab persoalan-persoalan kita hari ini. Itulah yang dilakukannya dengan kritik nalar Arab. Dan yang paling gres, itulah yang dilakukannya dengan serial kaji al-Qur'an dengan merunut mushaf sesuai dengan urutan turunnya.

Kata al-Jabiri, pembacaan yang a-historis adalah pembacaan yang mencabut obyek kajian dari ruang sejarahnya. Pembacaan macam ini tidak memberi manfaat apa-apa. Perubahan yang diusulkannya tidak bergerak dari dalam, tapi dipaksakan dari luar. Perubahan yang benar dan permanen hanya bisa dihasilkan dari dalam, bukan dari luar.

Mencari makna dari tradisi, menurutnya, bukan pada data yang diajukannya, tapi pada pesan dan misi ideologis yang disematkan terhadapnya. Di sinilah letak kegagalan pembacaan terhadap karya-karya para filosof muslim abad tengah, karena data pengetahuannya tidak melompat dari pemikiran para filosof Yunani, namun ketika yang dibaca adalah sematan ideologisnya, persoalannya menjadi lain. Ada gerak intelektual dan peradaban sekaligus di sana.

Selalu asyik membaca karya-karya al-Jabiri.

Friday, March 27, 2009

Para Sufi Maroko

At-Tasyawwuf Ila Rijal at-Tashawwuf, buku yang bercerita tentang 277 sufi Maroko. Kitab ini ditulis oleh Abi Ya'qub Yusuf Bin Yahya at-Tadili yang terkenal dengan sebutan Ibnu Az-Zayyat; ditahqiq oleh Ustadz Ahmad Taufiq, Menteri Wakaf Maroko yang sekarang masih menjabat.

Di bagian awal, buku ini berbicara tentang wali, ciri-cirinya, kekeramatan, semuanya disertai hadits-hadits yang banyak diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Sebagaimana semacam semboyan yang terkenal, "Timur adalah negeri para Nabi dan Barat (Maroko) adalah negeri para wali", maka bagi mereka yang ingin mengenal lebih dekat para wali di Maroko abad 5-7 H, buku ini menjadi bacaan wajib.

Thursday, March 26, 2009

Malik Bin Nabi-1

SEKILAS PEMIKIRAN MALIK BIN NABI

Saya lebih dulu tahu Malik Bin Nabi dari murid-murid (langsung atau tidak) beliau yang sekarang masih gilang-gemilang di dunia intelektual Arab Islam. Beliau tidak hanya menjadi kebanggaan Aljazair, tanah kelahirannya, tapi dunia Arab Islam secara umum.

Abdusshabur Syahin, Ahli Bahasa dan intelektual terkemuka Mesir, yang menterjemahkan buku beliau dari Bahasa Perancis ke Arab terkesima dengan arsitektur pemikiran Malik Bin Nabi. Ini pasti pengaruh langsung kesarjanaan Bin Nabi di bidang teknik.

Imaduddin Khalil, pemikir peradaban terkemuka Irak, lama mengajar di Yordania, banyak mengutip Malik Bin Nabi. Karya-karya Malik Bin Nabi bisa menjadi pijakan bagaimana dunia Islam mesti bangun kembali ke gelanggang peradaban dengan basis nilai internalnya.

Khali Jalabi, penulis favorit saya, yang seorang dokter ahli bedah tetapi hafal al Qur'an dan fasih berbicara warisan peradaban Islam dan Barat sekaligus, menyebut karya-karya Malik Bin Nabi sebagai bacaan yang harus dibaca oleh umat Islam berulang-ulang untuk merasukkan semangat kebangkitan kembali dunia Islam. "Lebih baik membaca sedikit buku bagus berkali-kali daripada mebaca banyak buku dengan kualitas rendah", kata beliau.

Buku "Syuruth an Nahdlah" (syarat kebangkitan) karya Malik Bin Nabi adalah satu dari sedikit buku bagus tersebut. Poin paling mendasar dari syarat kebangkitan dunia Islam menurut Malik Bin Nabi adalah keharusan awal umat untuk melepaskan diri dari mental yang siap untuk dijajah. Selama mental umat Islam masih mental pecundang, maka apapun upaya kebangkitan, tidak akan berhasil dengan sebenar-benarnya.

Jaudat Said, guru dan sekaligus kakak ipar Khalis Jalabi, adalah juga yang kagum dan terpengaruh dengan karya-karya Malik Bin Nabi. Salah satu hasilnya adalah keyakinan penuh terhadap jihad tanpa kekerasan. Lewat karya-karya genuin-nya, Jaudat Said yang sering disebut sebagai "Gandi"-nya Arab ini menolak cara-cara kekerasan yang masih dipakai oleh kekuatan pergerakan umat Islam sampai hari ini bahkan untuk tujuan yang diklaim sebagai gerakan pembabasan sekali pun. Kekerasan hanya tetap akan menjadi lingkaran setan yang tiada putus-putusnya.

Untuk kebangkitan umat Islam sekali lagi, karya-karya Malik Bin Nabi menjadi bacaan wajib.

Muhammad Abid al-Jabiri-1

KARYA-KARYA AL JABIRI

Ketika menyebut pemikiran islam kontemporer di Maroko, Al Jabiri selalu berada di urutan terdepan. Latar belakang akademisnya di filsafat memungkinkannya untuk menawarkan cara baru membaca warisan pemikiran Islam. Sejak awal 70-an, karya-karyanya tidak berhenti mengalir hingga hari ini.

Nahnu wa at-Turast (kita dan tradisi) adalah karya serius pertama di luar capaian akademis (tesis, disertasi) yang melambungkan namanya. Era 80-an sampai memasuki abad 21, tetralogi kritik nalar arab-nya mendapat apresiasi intelektual dimana-mana.

Ketika empat buku ini selesai ditulispun, al-Jabiri tertanya masih memiliki proyek besar baru: kali ini di wilayah al-Qur'an. Tiga buku terbarunya tentang al-Qur'an, merunut penjelasan tentang al-Qur'an sesuai urutan turun, sudah dilepas di pasaran.

Serial buku saku bulanan mawaqif juga masih terus mengalir terbit. Isinya adalah respon al-Jabiri terhadap realitas yang mengitari kita. Majalah fikr wa naqd juga masih diasuhnya.

Tak pelak, jika ingin mengetahui bagaimana nalar arab islam bekerja, karya-karya al Jabiri menjadi bacaan wajib.

Tuesday, December 16, 2008

Cerita Peradaban di Duha al-Islam

Ahmad Amin, penulis serial fajr-duha-dzuhr al Islam, tak pelak adalah salah seorang penulis peradaban Islam terbaik yang dimiliki dunia Arab Islam di abad ke-20. Detil deskripsinya sunggung mengagumkan. Kita diajak untuk seolah merasakan keagungan peradaban ini sejak lahir sampai masa matangnya.

Salah satu pengantar terbaik memahami masa jaya peradaban Islam di dua pusat-nya: Bagdad dan Andalusia adalah Duha al Islam, buku kedua dari serial karya Ahmad Amin ini.

Di buku ini, kita bisa temukan bagaimana cerita pertemuan tiga peradaban besar: Yunani, India dan Arab yang dibingkai oleh kekuatan spiritual dan intelektual Islam yang kemudian membentuk dua pusat peradaban baru di dua tempat berbeda itu.

Hingga kini, jejak dua pusat peradaban Islam ini membentuk dua corak intelektual Islam yang berbeda, sebagaimana diintrodusir al-Jabiri,: lebih politis-teologis di Timur dan lebih sosiologis-filosofis di Barat.